KARTINI

ra-kartini

Pandangan Keliru terhadap Kartini dan Emansipasi Pemberdayaan

perempuan menjadi wacana yang hangat dalam beberapa tahun terakhir ini. Apalagi saat bulan April, dimana ada satu tanggal yang sering diperingati sebagai harinya kebangkitan para perempuan di Indonesia, yaitu tgl 21 April (Hari Kartini). Orang banyak membicarakan tentang pentingnya kebangkitan kaum perempuan, terutama hal ini dilakukan oleh para aktivis-aktivis feminis dengan gencar. Apa dan bagaimana realitasnya? Apa pula tujuan di balik isu dan program pemberdayaan perempuan yang sering disuarakan oleh sebagian kalangan perempuan modern saat ini? Bagaimana Islam merespon wacana dan program pemberdayaan perempuan yang ditujukan kepada kaum Muslim? Bagaimana pula cara Islam memberdayakan kaum Muslimah? Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, Insya Allah tulisan ini akan mencoba untuk menjawab dan memaparkannya. PANDANGAN YANG SALAH TERHADAP MUSLIMAH Sering dikatakan perempuan Muslimah saat ini belum berdaya. Bahkan sebagian orang menyatakan ketidakberdayaan Muslimah tersebut sering dianggap dikarenakan syariat Islam yang lebih bercorak patrialistik (Bapak/lelaki yang dominan). Pendapat seperti ini didominasi oleh pandangan berperspektif jender yang didasarkan pada ideologi kapitalis-sekular (dominasi pemegang modal dan pemisahan agama dari kehidupan). Perspektif jender memandang bahwa perempuan yang berdaya adalah perempuan yang berperan di sektor publik, terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Sebaliknya, perempuan yang memfokuskan perannya di sektor domestik (rumah tangga) dianggap tidak berdaya karena: (1) tidak menghasilkan sejumlah materi; (2) membuat perempuan tidak memiliki eksistensi publik (status sosial). Ada asumsi yang sangat kental dalam perspektif jender bahwa keadilan pada perempuan hanya terjadi jika perempuan terlibat dalam pengambilan kebijakan di segala bidang, baik dalam lingkup rumah tangga maupun negara. Inilah yang dijadikan landasan untuk menilai sekaligus menuduh syariat Islam menjadi penyebab perempuan Muslimah tidak berdaya. Sebab, syariat Islam menetapkan bahwa tugas/peran utama perempuan adalah sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt (ibu dan pengatur rumah tangga). Peran ini adalah peran domestik yang tidak menghasilkan uang sehingga dianggap membuat perempuan tidak dihargai, bahkan dianggap memberi laki-laki peluang untuk menzalimi/menindas perempuan. Na’ûdzu billâhi min dzâlik. Sebenarnya perempuan yang mengutamakan peran domestiknya tidak bisa dikatakan tidak berdaya dan tidak bernilai. Fakta membuktikan bahwa peran domestik perempuan dalam rumah tangga sangat menghemat pengeluaran keluarga dan menghasilkan kualitas SDM, yaitu terlahirnya dan terbinanya anak-anak yang sholeh. Ini merupakan suatu investasi masa depan yang sangat berharga bagi kemajuan bangsa. Bahkan nilainya jauh lebih besar daripada materi yang didapatkan perempuan jika dia bekerja di sektor publik sehari penuh. Sekilas kelihatannya upaya pemberdayaan perempuan bercorak kapitalis-sekular itu adalah untuk meningkatkan martabat perempuan. Sebagian kecil personal perempuan martabatnya tinggi di tengah keluarga dan masyarakat karena memiliki kedudukan lumayan di institusi pemerintahan ataupun swasta. Kalangan ini umumnya beruntung mempunyai tingkat pendidikan tinggi. Namun, apakah demikian juga kondisinya pada perempuan kebanyakan, yang umumnya tingkat pendidikannya rendah? Tentu saja tidak! SALAH PAHAM TENTANG KARTINI Terdapat satu ”kebiasaan” yang sebenarnya tidak tepat dan tidak berdasar, yaitu mengkaitkan pemberdayaan perempuan dengan sosok Kartini. Kartini sering dijadikan simbol perjuangan wanita untuk dapat disejajarkan dengan kaum lelaki. Benarkah demikian? Jika kita perhatikan surat-surat yang dibuat oleh Kartini kepada teman korespondensinya, tidak ada satu pun yang menjelaskan dan menyatakan bahwa Kartini memperjuangkan wanita agar memiliki peran yang sama dengan kaum lelaki, namun yang terjadi adalah justru Kartini ingin kembali kepada fitrahnya yaitu seorang Muslimah Islam yang taat Aturan Allah. ”Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang” (surat Kartini kepada Ny Abandanon, 5 Maret 1902) ”Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu : Hamba Allah (Abdulloh).” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 1 Agustus 1903) Bahkan Pandangan kartini tentang Barat-pun berubah, setelah sekian lama sebelumnya dia terkagum dengan budaya Eropa yang menurutnya lebih maju dan serangkaian pertanyaan-pertanyaan besarnya terhadap tradisi dan agamanya sendiri. Ini tercermin dalam salah satu suratnya : ”Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902) ”Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang yang setengah Erpa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan.” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 10 Juni 1902) Kartini juga menentang semua praktek kristenisasi “Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? …. Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903] Bahkan Kartini bertekad untuk berupaya untuk memperbaiki citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan :“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]. Vita Sarasi dalam tulisannya berjudul “Menelusuri Jejak Kartini” membagi perjalanan hidup Ibu Kartini yang mengalami pencerahan dalam dua fase, yaitu fase pra dan selama-pasca mendapat hidayah. Momen perubahannya adalah pada saat beliau menghadiri pengajian tafsir Al-Qur’an yang diberikan oleh Kyai Sholeh Darat tersebut. Dalam fase pertama, yaitu fase pra-hidayah, Ibu Kartini mendapat pencerahan tentang perlunya mendobrak adat-adat lokal, baik perilaku yang mengistimewakan keturunan ningrat daripada keturunan rakyat biasa maupun yang mengekang hak-hak wanita pada umumnya. Menurut beliau, setiap manusia adalah sederajat dan mereka berhak mendapat perlakuan yang sama. Sedangkan khusus untuk wanita, mereka memiliki hak misalnya untuk memperoleh pendidikan sekolah, hak untuk melakukan aktivitas keluar rumah, hak untuk memilih calon suami. Namun di lain pihak Ibu Kartini juga berusaha untuk menghindar dari pengaruh budaya Barat walaupun juga mengakui bahwa perlu belajar dari Barat karena lebih maju dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dalam fase ini Ibu Kartini juga mengajukan kritik dan saran kepada Pemerintahan Hindia Belanda. Dalam fase kedua, yaitu selama dan pasca mendapatkan hidayah, beliau mendapat pencerahan tentang agama yang dianutnya, yaitu Islam. Bahwa Islam, jika ajaran-ajarannya diikuti dengan benar sesuai dengan Al-Qur’an, ternyata membawa kehidupan yang lebih baik dan memiliki citra baik di mata umat agama lain. Ibu Kartini menulis dalam surat-suratnya, bahwa beliau mengajak segenap perempuan bumiputra untuk kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat lain memandang agama Islam sebagai agama yang patut dihormati. “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disuka” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]. Klimaksnya, nur hidayah itu membuatnya bisa merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh kebanyakan pejuang feminisme dan emansipasi, namun untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai ibu. Ibu Kartini menulis: “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]. Pikiran beliau ini mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pada waktu fase sebelum hidayah, yang lebih mengedepankan keinginan akan bebas, merdeka, dan berdiri sendiri. UPAYA BARAT MENJAJAH NEGERI-NEGERI ISLAM Maraknya upaya pemberdayaan perempuan menurut perspektif Kapitalisme-sekular yang dilakukan oleh negara-negara barat merupakan upaya penjajahan negara lewat perempuan. Isu ini merupakan agenda PBB dengan berbagai konvensinya tentang perempuan dan kependudukan: CEDAW, ICPD, MDGS dan Konferensi Beijing. Agenda ini didanai dan dikontrol oleh lembaga-lembaga internasional, kemudian diusung oleh LSM-LSM Internasional dan lokal. Ini adalah agenda internasional; agenda ideologi Kapitalisme-Liberalisme Global. Mengapa demikian? Karena kita semua sudah tahu siapa penguasa di PBB, yakni AS; penjajah dan pengemban ideologi Kapitalisme-Liberalisme Global. Atas nama ratifikasi dan demokratisasi, setiap negara anggota PBB dipaksa harus menjalankan semua agenda gender dan berbagai turunannya. Hal ini bisa kita lihat dalam CEDAW (1979) pasal 16: “Negara negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan, hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan…” Target mereka adalah merancang dan membuat berbagai peraturan-peraturan dalam semua urusan terkait urusan perkawinan, kekeluargaan dan lain-lain atas dasar gender mainstream. Hal ini sudah kita lihat buktinya secara gamblang, bagaimana mereka mengobok-obok syariah Islam tentang rumah tangga dengan membuat perundang-undangan melalui CLD KHI, UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, dll sebagai realisasi dari ’amanat’ CEDAW di atas. Tidak cukup dengan itu, perlu kita ketahui, konsep keadilan menurut gender adalah kesamaan/kesamarataan peran dalam segala hal; baik dalam hak talak, nikah dengan ahli kitab, menjadi kepala keluarga, politik, dll. Hal ini telah ditetapkan oleh UNDP (1995) bahwa ideal equality adalah 50:50, maksudnya jumlah perempuan yang berkiprah di sektor publik harus sama dengan laki-laki. Dalam proporsi seperti itu baru dikatakan tercapai keseimbangan ideal. Jadi, jika ada anggota parlemen laki-laki 120 orang maka jumlah perempuan pun harus 120 orang. Sasarannya adalah negara-negara berkembang, khususnya negeri-negeri Islam. Melalui training-training, workshop, pembimbingan kelompok usaha, dan berbagai kegiatan lain ditanamkan ideologi kapitalis-sekular kepada para perempuan dari segala lapisan di negeri-negeri Islam. Ide-ide pengelolaan negara di segala bidang-pendidikan, kesehatan, ekonomi, pemerintahan, hubungan luar negeri, militer, lingkungan hidup, dan lain-lain–diajarkan melalui kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan. Dengan itu, sebenarnya negara-negara maju itu sedang memaksakan penanaman nilai-nilai kebebasan kepada perempuan, memfasilitasi dan mendorong perempuan untuk memperjuangkan kebebasannya, sampai mengupayakan perubahan tatanan kehidupan keluarga dan masyarakat yang bisa menjamin kebebasannya. Melalui penanaman pemikiran-pemikiran dan pelatihan-pelatihan di bidang ekonomi, misalnya, perempuan dijadikan alat untuk memuluskan realisasi desain sistem ekonomi di negara berkembang. Itu diproyeksikan untuk mencapai taraf perekonomian tertentu, dengan rakyat hanya menjadi pekerja di negeri sendiri dan negara-negara maju menjadi tuannya/pemilik modal. Demikian juga pemberdayaan perempuan di bidang lingkungan hidup; sebenarnya menargetkan agar perempuan yang mengambil kebijakan pengelolaan sumberdaya alam negara ‘merelakan’ kekayaan alam mereka dijarah penjajah. Mereka dibius dengan pemikiran dan uang dari penjajah itu melalui kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh penjajah. Pemberdayaan perempuan di bidang pendidikan dan kesehatan arahnya juga ke sana. Melalui pemberdayaan perempuan global, penjajah menentukan agenda negara-negara berkembang seperti yang mereka inginkan. Sudah ditetapkan target-target tertentu yang harus direalisasikan oleh suatu negara, bahkan sampai harus menghasilkan perubahan perundang-undangan jika undang-undang di negara tersebut tidak mendukung apa yang mereka inginkan. Tidak aneh jika pelaksanaan agenda global ini ditopang dengan dana yang sangat besar, yang disalurkan lewat lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dll, atau melalui LSM internasional seperti Ford Foundation, Asia Foundation, USAID, dll. Akan tetapi, pendanaan ini hanya sampai jangka waktu tertentu, karena selanjutnya dana diambil dari APBN maupun APBD jika sudah terjadi legalisasi lewat perundang-undangan. Ironis sekali, kaum Muslim harus membayar utang dan membiayai program-program yang merusak tatanan kehidupan keluarga dan masyarakat mereka, menyengsarakan kehidupan mereka, dan mengokohkan penjajahan atas diri mereka. Bukankah ini penjajahan lewat perempuan? TIDAK SESUAI DENGAN FITRAH MANUSIA Perspektif kapitalis-sekular jelas sangat tidak sejalan dengan Fitrah Manusia. Kapitalisme-sekular memandang kebahagiaan diperoleh manusia hanya dengan kecukupan materi saja. Padahal kebahagiaan itu tidak bisa diukur hanya sebatas dengan tercukupinya kebutuhan materi. Manusia memiliki naluri berkasih-sayang yang bisa dipenuhi dalam sebuah kehidupan keluarga yang normal-suami-istri dan anak-anak. Hidup dalam sebuah keluarga yang dilandasi hubungan yang penuh kasih-sayang yang tulus akan mendatangkan ketenangan hidup. Hal ini berkonstribusi besar menghadirkan kebahagian hidup seseorang, bahkan lebih besar daripada konstribusi kecukupan materi. Oleh karena itu, keluarnya perempuan ke arena publik untuk bekerja seharian mencari materi sebenarnya tidak diinginkan para perempuan yang masih memiliki naluri perempuan. Apalagi kalau dia harus meninggalkan anak-anaknya. Bahkan Kehidupan keluarga kebanyakan menjadi tidak harmonis lagi karena tatanannya tidak lagi mapan. Penetapan peran, hak, dan kewajiban masing-masing anggota keluarga tidak jelas dan tidak sesuai dengan fitrah masing-masing. Semua itu hanya berdasarkan kesepakatan masing-masing. Dampak dari kondisi demikian adalah meningkatnya jumlah perceraian serta kenakalan anak-anak dan remaja karena kehilangan kasih-sayang. Anak-anak kehilangan bimbingan dan arahan yang dilandasi oleh kasih-sayang yang tulus. Mereka kehilangan figur teladan yang menjadi acuannya berperilaku. Akibatnya, anak-anak mengalami krisis kepribadian. Selanjutnya, alih-alih menjadi generasi pemimpin harapan bangsa, mereka malah menjadi beban bagi orangtuanya, masyarakat, maupun negara. Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat; tidak lagi terjadi kerjasama berdasarkan kemaslahatan bersama; yang ada adalah persaingan tidak sehat dan hubungan seks bebas. Perempuan bahkan dieksploitasi untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Kehormatan mereka akhirnya tercemar dan martabat mereka terpuruk ke tingkat terendah karena disamakan dengan barang dagangan. Akibatnya, kehidupan sosial menjadi rusak. ISLAM MEMULIAKAN PEREMPUAN Islam memandang Perempuan dan Laki-laki adalah SAMA. Sama-sama memiliki potensi yaitu akal dan potensi hidup (ghoroiz dan hajatul udhowiyah). Sama-sama Hamba Allah yang harus melaksanakan seluruh Perintah Allah dan RasulNya. Bahkan tidak sedikit nash-nash yang menggambarkan betapa tinggi dan mulianya perempuan. 58. Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. 59. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. “Barangsiapa yang memiliki anak wanita dan tidak menguburnya hidup-hidup atau menghinakannya dan tidak lebih menyukai anak laki-laki dibandingkan dengan anak wanitanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam Syurga” (Al Hadits) Diriwayatkan bahwa datang seorang laki-laki Rasul dan bertanya : “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak saya layani dengan baik? Nabi saw menjawab : “Ibumu” Orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?” Nabi saw menjawab: “Ibumu”. Maka laki-laki tersebut mengulang pertanyaannya dan dijawab oleh beliau dengan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Ketika dia bertanya untuk keempat kalinya, maka barulah Rasulullah menjawab: “Ayahmu” (HR Bukhari-Muslim) “Tidak dapat memuliakan derajat kaum wanita kecuali orang yang mulia, dan tidak dapat merendahkan derajat kaum wanita, kecuali orang yang jahat budi pekertinya.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan ibnu Assakir dari Ali ra) “Sesungguhnya Allah berwasiat kepada kamu sekalian untuk berbakti kepada ibumu, kepada ibumu, kepada ibumu, lalu kepada ayahmu baru kemudian kepada orang yang lebih dekat dan seterusnya.” (HR Bukhari, Ahmad dan Ibnu Majah) Sebuah hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Syurga berada di bawah telapak kaki ibu” (HR Al Khatib) UPAYA MEMBERDAYAKAN MUSLIMAH Muslimah yang berdaya adalah Muslimah yang mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang telah diamanahkan Allah kepadanya secara optimal, baik di sektor domestik/rumah tangga maupun publik. Kedua peran ini, jika dijalankan secara optimal sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya, akan memberikan konstribusi yang sangat besar dalam memajukan kaum Muslim meraih kejayaannya kembali. Di sektor domestik, peran seorang perempuan terkelompok ke dalam 3 (tiga) peran besar yaitu peran sebagai Anak, Peran sebagai Istri dan Peran sebagai Ibu. Perannya sebagai anak:, maka perempuan wajib berbakti kepada kedua orangtuanya dan bertanggung jawab terhadap kondisi keluarganya (bukan nafkah). Dan berhak untuk mendapatkan nafkah serta perlindungan. Perannya sebagai Istri: Sebagai Istri, perempuan berhak untuk mendapatkan nafkah, mendapatkan perlindungan dan mendapatkan pergaulan yang makruf dari suami. Wajib berbakti kepada suami, taat kepada suami, minta izin ketika keluar rumah, shaum sunnah, menafkahkan harta suami, dll serta bergaul dengan ma’ruf. Peran Muslimah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga adalah sebagai berikut : Sebagai ibu, seorang perempuan, setelah menikah dan hamil, harus bisa menjaga diri dan kandungannya dengan sebaik mungkin. Setelah melahirkan, ia harus menyusui, merawat, dan membesarkan anaknya. Di sinilah seorang perempuan memiliki hak radhâ‘ah (penyusuan) dan hak hadhânah (pengasuhan), sekaligus—bersama suaminya—memiliki kewajiban tarbiyah (pendidikan). Tugas lainnya adalah menstabilkan kehidupan keluarga. Sementara itu, sebagai pengatur rumah tangga, seorang perempuan Muslimah harus bertanggung jawab terhadap segala urusan kerumahtanggaan agar rumahnya itu secara fisik benar-benar menjadi tempat yang sehat, aman, dan nyaman untuk semua penghuninya; dan secara psikologis bisa memberikan rasa tenteram. Dari sana akan tercipta apa yang disebut rumah tangga yang sakinah. Menjalankan peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga adalah aktivitas yang sangat mulia. Peran itu akan menentukan keberhasilan rumah sebagai institusi umat yang pertama dan utama, yang melahirkan anak yang berkualitas sebagai penerus generasi. Peran ini akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Karena itu, peran ini harus dijalankan secara sungguh-sungguh. Di samping itu, perempuan Muslimah pun harus memiliki peran dalam dakwah. Syari’at menetapkan dakwah sebagai kewajiban setiap Muslim, perempuan maupun laki-laki. Keduanya wajib menyampaikan, menyebarkan, dan memperjuangkan Islam agar semakin banyak orang yang memahami dan mengamalkan Islam. Dalam konteks sosial, dakwah juga harus dijalankan agar kehidupan bermasyarakat dan bernegara senantiasa berada dalam tatanan yang islami. Rasul yang mulia pernah bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi-pagi dan tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum Muslim).” (HR al-Hakim) Dakwah yang digerakkan untuk menjawab persoalan masyarakat dan memperjuangkan tegaknya syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara disebut juga dakwah politis. Dakwah semacam ini juga harus dilakukan oleh perempuan Muslimah. Misalnya, dengan melakukan pencerdasan kepada sesama kaum perempuan agar mereka sadar dan lebih memahami syariat Islam, khususnya yang berkenaan dengan peran perempuan, melakukan muhâsabah (koreksi) terhadap penguasa agar tetap berjalan di atas rel Islam, serta bersama kaum lelaki berjuang hingga tegaknya kembali syariat Islam dan Khilafah Islamiyah di muka bumi ini. ]وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ[ Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka melakukan amar makruf nahi mungkar. (QS at-Taubah [9]: 71). Beraktivitas dalam partai politik pun merupakan aktivitas politik perempuan, termasuk di kala kekhilafahan sudah tegak, maka perempuan harus memba’iat Penguasa, memilih dan dipilih menjadi anggota majelis ummat dan sebagainya. Ringkasnya, perempuan mana pun pada dasarnya akan mampu melaksanakan peran-peran tersebut. (lihat QS Al Baqarah : 286). Oleh karena itu, sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa peran perempuan tidak bisa diremehkan. Namun dalam prakteknya, pelaksanaan peran tersebut kadang terjadi perbenturan dan kesalahpahaman. Ada beberapa sebab mengapa kaum perempuan tidak dapat menjalankan perannya dengan baik. Pertama, karena tidak adanya pemahaman yang mendalam tentang bagaimana seharusnya peran perempuan dalam pandangan Islam. Kedua, karena adanya opini yang menilai peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga sebagai peran yang kurang bernilai. Karena itu, Upaya Pemberdayaan sesuai syari’at Islam perlu dilakukan, di antaranya dengan : Pertama: Melakukan penyadaran kepada perempuan Muslimah tentang keberadaannya di dunia ini sebagai makhluk Allah yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Kemudian mengajak mereka menyadari betapa besarnya nikmat Allah yang telah mereka peroleh secara gratis. Oleh karena itu, sudah selayaknya mereka senantiasa bersyukur kepada-Nya. Rasa syukur tersebut harus diimplementasikan dalam perbuatan dengan cara menaati seluruh ketentuan hukum-hukum-Nya. Di antara ketentuan tersebut adalah diamanahkannya suatu tugas dan tanggung jawab kepada perempuan di rumah tangga maupun publik dengan imbalan surga. Kedua: Melakukan pencerdasan kepada perempuan Muslimah tentang bagaimana menjalankan kedua peran tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Ketiga: Mendorong perempuan Muslimah melaksanakan kedua peran tersebut dengan sekuat tenaga dan senantiasa meningkatkan kemampuan agar semakin profesional menjalankan kedua peran tersebut. Keempat: Mengajak perempuan Muslimah berjamaah memperjuangkan terealisasinya kedua peran, terpadu dengan perjuangan merealisasikan tatanan kehidupan kaum Muslim sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya Kelima: Lakukan upaya counter-opini yang menyesatkan, sehingga perempuan Muslimah tidak terjebak kepada pemahaman yang salah tentang peran dan fungsinya. Akhir pemaparan, perkenankan melakukan penegasan kembali, bahwa dalam Sistem Islam, partisipasi dan peran perempuan akan diberikan sesuai dengan aturan Allah dan RasulNya. Islam mengharuskan perempuan untuk memiliki kesadaran politik dan membolehkan perempuan berkiprah dan bermua’malah selama diperbolehkan syara’ (bekerja, berdagang, dll). Setiap orang yang mengaku dirinya Muslim sudah seharusnya memiliki keyakinan bahwa hanya sistem Islamlah satu-satunya sistem yang bisa menyelesaikan seluruh permasalahan manusia tanpa menimbulkan kerugian atau permasalahan baru pada siapa pun. Selanjutnya, setiap muslim harus merasa berkewajiban untuk turut andil memperjuangkan tegaknya satu sistem Islam di dunia ini. Dengan begitu, kemuliaan Islam dan umatnya, termasuk kaum perempuan akan terwujud kembali. ‘Alla kulli hal, mari kita merenungkan firman Allah SWT berikut : “Tidaklah pantas bagi laki-laki Mukmin maupun wanita mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan RasulNya sungguhlah telah tersesat dengan kesesatan yang nyata. (QS Al Ahzab : 36) Wallahu a’lam bishshowwab

Leave a comment